HUBUNGAN ANTARA KESEHATAN MENTAL DENGAN
RELIGIUSITAS
Pengertian Agama
Agama
dianggap sebagai kata yang berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua
akar suku kata yaitu “a” yang berarti tidak dan “gama “ yang berarti kacau
sehingga artinya tidak kacau. Hal itu mengandung
pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia
agar tidak kacau. Dalam bahasa Indonesia agama juga dikenal dengan kata addin
dari bahasa arab yang artinya hukum, kata ini juga mengandung arti
menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan.
Agama memang membawa peraturan-peraturan yang merupakan hukum, yang harus
dipatuhi orang. Agama selanjutnya memang menguasai diri seseorang dan membuat
ia tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran-ajaran agama.
Agama lebih
lanjut lagi membawa kewajiban-kewajiban yang apabila tidak dijalankan oleh
seseorang akan menjadi hutang baginya, dan paham mengenai kewajiban dan
kepatuhan ini membawa pula pada paham balasan yang baik dari Tuhan pada yang
menjalankan kewajiban dan yang patuh dan bagi yang tidak menjalankan kewajiban
dan tidak patuh akan mendapatkan balasan yang tidak baik.
Agama dalam bahasa inggris disebut
dengan ‘religion’ berasal dari bahasa latin ‘religare’ yang berarti ‘mengikat’.
Kata ini diserap dalam bahasa inggris pada abad ke-11. Agama seringkali
diterjemahkan sebagai sebuah sistem kepercayaan dan peribadatan (ritual)
ataupun penyerahan diri kepada suatu kekuatan supra-realitas (tuhan).
Para filusuf, sosiolog dan psikolog
merumuskan agama menurut caranya masing-masing. Menurut sebagian filusuf,
religion adalah superstitious structure of incoherent metaphysical nation. Para
sosiolog menyebut religion sebagai collective expression of human values. Sedangkan
para psikolog mendefinisikan agama sebagai mystical complex surrounding a
projected superego.
Banyak sekali definisi dari agama
yang telah diajukan, namun salah satu pendekatan yang paling komprehensif dalam
menjelaskan agama adalah pendekatan yang menyatakan bahwa agama mencakup:
- Doktrin (ajaran-ajaran tentang
keimanan);
- Mitos (narasi historis yang
bersifat sakral);
- Etika (kode-kode moral yang
bersandar pada ajaran Tuhan);
- Praktik peribadatan atau ritual
(bentuk penyerahan diri terhadap kekuatan adikodrati);
- Pengalaman keagamaan, mistik,
spiritual;
- Institusi sosial.
William James menjelaskan bahwa
terdapat dua aspek dari agama yakni institusional dan personal. Sisi
institusional dari agama mencakup peribadatan, teologi, praktik perayaan,
organisasi eklesiastikal. Sementara aspek personal dari agama merefleksikan
disposisi internal dalam diri individu pemeluk agama tersebut. William James
percaya bahwa agama adalah sebentuk perasaan, perilaku dan pengalaman individu
dalam kesendiriannya sebagai penanda keterhubungannya dengan sesuatu yang
bersifat suci (tuhan).
Dalam penelitian yang dilakukan
seorang pemeluk agama, Sigmund Freud menyimpulkan bahwa agama ditumbuhkan dari
pengalaman perasaan bersalah seorang anak ketika ia mencoba untuk menggantikan
sosok ayahnya. Dalam karyanya yang berjudul The future of illusion, Freud
manyatakan bahwa manusia pada dasarnya tidak bahagia dan mencoba untuk lari
dari ketidakbahagiaan ini dengan melakukan ritual religious. Dengan demikian,
segala bentuk perilaku keagamaan merupakan ciptaan manusia yang timbul dari
dorongan agar dirinya terhindar dari bahaya dan dapat memberikan rasa aman.
Untuk keperluan itu manusia menciptakan Tuhan dalam pikirannya (Djamaluddin
Ancok, 1994: 71).
Sedangkan Harun Nasution
mendefinisikan agama adalah pengakuan terhadap adanya
hubungan manusia dengan kekuatan ghaib yang harus dipatuhi. Pengakuan terhadap adanya hubungan ghaib yang menguasai manusia. mengikatkan
diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada diluar diri manusia dan yang mempengaruhi
perbuatan-perbuatan
manusia. Kepercayaan
kepada sesuatu kekuatan ghaib yang menimbulkan cara hidup tertentu. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari suatu kekuatan ghaib pengakuan
terhadap adanya kewajiban–kewajiban yang diyakini bersumber pada sesuatu
kekuatan ghaib. Pemujaan
terhadap kekuatan ghaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut
terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia ajaran–ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang rasul.
Bertitik
tolak dari kata-kata tersebut intisarinya adalah agama adalah ikatan yang harus
dipegang dan dipatuhi manusia yang berasal dari sesuatu kekuatan yang lebih
tinggi dari manusia sebagai kekuatan ghaib yang tak dapat ditangkap dengan
panca indera, namun mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan
manusia sehari-hari. Jadi agama adalah pengakuan terhadap adanya hubungan
manusia dengan sesuatu yang ghaib yang menguasai manusia, yang dengan karenanya
manusia meyakini harus mematuhi kewajiban–kewajiban sehingga hal itu
mempengaruhi pada tingkah atau perbuatan-perbuatan manusia sehari-hari.
Pengertian Kesehatan Mental
Istilah
Kesehatan Mental diambil dari konsep mental hygiene, kata mental berasal dari
bahasa Yunani yang berarti Kejiwaan. Kata mental memilki persamaan makna dengan
kata Psyhe yang berasal dari bahasa latin yang berarti Psikis atau Jiwa, jadi
dapat dikatakan mental hygiene berarti mental yang sehat atau kesehatan mental. Kesehatan mental (mental hygiene)
adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan
serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan rohani, dan orang-orang
yang sehat mentalnya adalah orang yang dalam rohani atau dalam hatinya selalu
merasa tenang, aman, dan tenteram (M.Buchori, 1982:5).
Kesehatan
mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik
berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial)
(Mujib dan Mudzakir, 2001, 2003).
Mustafa
Fahmi sebagaimana dikutip Muhammad Mahmud menemukan dua pola dalam
mendefinisikan kesehatan mental: Pertama, pola negatif (salabiy)
bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala neorosis
(al-amradh al- ashabiyah) dan psikologia (al-amradh al-dzibaniyah ). Kedua,
pola positif (ijabiy) bahwa kesehatan mental adalah kemampuan individu dalam
penyesuaian terhadap diri sendiri dan terhadap lingkungan sosialnya.
Sedangkan
Hanna Djumhana Bastaman menyebutkan ada empat pola yang
ada dalam kesehatan mental, yaitu:
- pola simtomatis adalah pola yang berkaitan dengan gejala (symptoms)
dan keluhan (compliants) gangguan atau penyakit nafsaniyah.
- pola penyesuaian diri adalah pola yang berkaitan dengan keaktifan
seseorang dalam memenuhi tuntutan lingkungan tanpa kehilangan harga
diri, atau memenuhi kebutuhan pribadi tampa mengganggu hak-hak orang lain
sehingga disini kesehatan mental berarti kemampuan seseorang untuk
menyesuaikan diri secara aktif terhadap lingkungan sosialnya.
- pola pengembangan diri adalah pola yang berkaitan dengan kualitas khas
insani, seperti kreatifitas, kecerdasan, tanggung jawab dan sebagainya.
Sehingga kesehatan mental berarti kemampuan individu untuk memfusikan
potensi-potensi manusiawinya secara maksimal, sehingga ia memperoleh
mamfaat bagi dirinya sendiri maupun orng lain
- pola agama adalah pola yang berkaitan dengan ajaran agama. Jadi kesehatan mental adalah kemampuan individu untuk melaksanakan
ajaran agama secara benar baik dengan landasan keimanan dan ketakwaan.
Dari beberapa
definisi kesehatan mental tersebut maka dapat kita pahami bahwa definisi kesehatan
mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri
antara manusia dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna yaitu
bahagia di dunia dan di akhirat.
Mental yang
sehat tidak akan mudah terganggu oleh Stressor (Penyebab terjadinya stres)
orang yang memiliki mental sehat berarti mampu menahan diri dari
tekanan-tekanan yang datang dari dirinya sendiri dan lingkungannya. (Noto
Soedirdjo, 1980) menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang memiliki kesehatan
mental adalah memiliki kemampuan diri untuk bertahan dari tekanan-tekanan yang
datang dari lingkungannya. Sedangkan menurut Clausen Karentanan
(Susceptibility) Keberadaan seseorang terhadap stressor berbeda-beda karena
faktor genetic, proses belajar dan budaya yang ada di lingkungannya, juga
intensitas stressor yang diterima oleh seseorang dengan orang lain juga
berbeda.
Ciri-ciri
kesehatan mental dikelompokkan kedalam enam kategori, yaitu:
1. Memiliki sikap batin (Attidude) yang positif
terhadap dirinya sendiri.
2. Aktualisasi diri.
3. Mampu mengadakan integrasi dengan fungsi-fungsi
psikis yang ada.
4. Mampu berotonom terhadap diri sendiri (Mandiri).
5. Memiliki persepsi yang obyektif terhadap realitas
yang ada.
6. Mampu menselaraskan kondisi lingkungan dengan diri
sendiri.
Beberapa Aliran Tentang Kesehatan
Mental
Terdapat
beberapa pandangan tentang kesehatan mental dari sudut psikologi dan agama,
diantaranya:
1.
Aliran Psikoanalitik
Aliran ini dikenal dengan tokoh yang
mempeloporinya yaitu Sigmund Freud dengan pandangan bahwa manusia adalah produk
evolusi yang terjadi secara kebetulan dan merupakan makhluk biologis.
Psikoanalisis merupakan satu sistem dinamis dari psikologi yang mencari akar
tingkah laku manusia didalam dorongan dan konflik yang tidak disadari. Freud
selanjutnya memandang bahwa tingkah laku manusia itu terjadi karena interaksi
antara tiga alat dalam personaliti, yang disebut dengan id, ego, dan super ego.
2. Aliran Behavioristik
Aliran ini berpendapat bahwa
kesehatan mental adalah kesanggupan seseorang untuk memperoleh kebiasaan yang
sesuai dan dinamik yang dapat menolongnya berintegrasi dengan lingkungan, dan
menghadapi suasana-suasana yang memperlukan pengambilan keputusan. Dengan kata
lain orang yang sehat mentalnya adalah orang yang mampu ber-adjusment secara
baik dan dinamis dengan lingkungan dimana ia berada.
3. Aliran Humanistik
Aliran ini berpendapat bahwa
pengkajian terhadap manusia harus didekati dari sudut kemanusiaannya. Manusia
dilengkapi dengan berbagai potensi yang bebas dipergunakan menurut kemauannya.
Oleh karena itu kesehatan mental, menurut aliran ini, adalah kesadaran manusia
terhadap potensi-potensi kebebasannya untuk mencapai apa yang ia kehendaki
dengan cara yang dipilihnya. Dengan kata lain, bahwa orang yang sehat mentalnya
menurut aliran ini adalah orang yang sabar akan yang dimilikinya, kemudian
secara bebas ia dapat menegmbangkan sesuai dengan kehendaknya.
4. Aliran Psikologi Transpersonal
Aliran ini merupakan kelanjutan dari
aliran humanistik. Menurut Maslow pengalaman keagamaan adalah peak experience,
plateu dan fathers reaches of human nature, dalam arti kata psikologi belum
sempurna sebelum difokuskan kembali pada pandangan spiritual agama. Dalam hal
ini psikologi transpersonal berusaha menggabungkan tradisi psikologi dengan
tradisi-tradisi agama besar Timur.
5. Pandangan Islam
Menurut pandangan Islam orang yang
sehat mentalnya ialah orang yang berperilaku, fikiran, dan perasaannya
mencerminkan dan sesuai dengan ajaran agama Islam. Ini berarti orang yang sehat
mentalnya ialah orang yang didalam dirinya terdapat keterpaduan antara
perilaku, perasaan, fikirannya, dan jiwa keberagamaannya. Dengan demikian,
tampaknya sulit diciptakan kondisi kesehatan mental dengan tanpa agama. Bahkan
dalam hal ini Malik B. Badri berdasarkan pengamatannya berpendapat, keyakinan
seseorang terhadap islam sangat berperan dalam memebebaskan jiwa dari gangguan
dan penyakit kejiwaan. Disinilah peran penting Islam dalam membina kesehatan
mental.
2.4 Orientasi dan Indikator
Kesehatan Mental
Kesehatan mental memiliki beberapa
orientasi dan indikator, diantaranya:
1.
Orientasi Kesehatan Mental
- Orientasi klasik, menurut
aliran ini seseorang dinyatakan sehat mentalnya apabila ia tidak mempunyai
keluhan-keluhan tertentu seperti cemas, tegang, dan sebagainya, dimana
semua keluhan itu menimbulkan perasaan sakit.
- Orientasi pada aspek
penyesuaian diri (adjusment), menurut aliran ini seseorang dinyatakan sehat
apabila ia mampu menyesuaikan dirinya secara aktif, efektif dan
menyenangkan sesuai dengan tuntutan realitas sekitarnya sesuai dengan
skala ukuran yang berlaku dalam masyarakat dimana ia berada.
- Orientasi pada aspek
pengembangan potensi, menurut aliran ini seseorang dinyatakan sehat
apabila ia mampu mengembangkan potensi-potensinya ditengah masyarakat
dimana ia tinggal.
- Orientasi pada aspek intra
psikis atau agama, menurut aliran ini seseorang dianggap sehat apabila ia
mampu memilih apa yang dianggap baik dan menolak apa yang dianggapnya
buruk berdasarkan pedoman normatif sesuai dengan ajaran agama yang
dianutnya.
2.
Indikator Kesehatan Mental
Kesehatan
mental dan kondisi normalitas kejiwaan seseorang adalah kondisi kesejahteraan
emosional kejiwaan seseorang, pengertian ini berasumsikan bahwa pada prinsipnya
manusia itu dalam kondisi sehat. Atkinson
menyebutkan ada enam indikator normalitas kejiwaan seseorang yaitu:
- Persepsi
realitas yang efisien, yaitu individu cukup realistik dalam menilai
kemampuannya dan dalam menginterpretasi terhadap dunia sekitarnya ia tidak
terus-menerus berpikir negatif terhadap orang lain serta tidak berlebihan dalam memuja
diri sendiri.
- Mengenal diri sendiri, yaitu individu memiliki kesadaran dalam motif
dan perasaannya sendiri.
- Kemampuan untuk mengendalikan perilaku secara sadar.
- Harga diri dan penerimaan yaitu penyesuaian diri sangat ditentukan oleh
penilaian terhadp harga diri sendiri dan merasa diterima oleh orang sekitarnya, ia merasa nyaman bersama orang lain dan mampu
beradaptasi dan mereaksi secara spontan dalam segala situasi sosial.
- Kemampuan untuk membentuk ikatan kasih, individu yang normal dapat
membentuk jalinan kasih yang erat serta mampu memuaskan orang lain dalam
hal ini dia peka terhadap peasaan orang lain dan tidak menuntut yang
berlebihn pada orng lain.
- Produktifitas, individu yang baik adalah individu yang menyadari
kemampuannya dan dapat diarahkan pada aktifitas produktif.
Sedangkan
indikator kesehatan mental menurut Ahmad Farid yang menerapkan indikator kesehatan mental berdasarkan kepada agama adalah sebagai berikut:
- Berfokus pada ahirat.
- Tiada meninggalkan zikrullah
- Selalu merindukan untuk beribadah kepada Allah swt.
- Tujuan hidupnya hanya kepada Allah swt.
- Khusyuk dan
menegakkan solat.
- Menghargai waktu dan tidak bahil harta.
- Tidak berputus asa.
- Mengutamakan kualitas perbuatan.
Hadits sebagai sumber kedua ajaran
Islam sesudah al-Qur’an banyak pula menyinggung hal-hal yang berhubungan dengan
kesehatan mental. Hadits yang berhubungan dengan kesehatan mental adakalanya
yang berkaitan dengan indikator kesehatan mental dan adakalanya yang berkaitan
dengan psikoterapi, dan yang berkaitan dengan kesehatan mental. Yang berkaitan
dengan indikator kesehatan mental, diantaranya:
·
Rasa aman.
·
Qanaah dan ridha menerima apa yang telah ditentukan Allah
SWT kepadanya.
·
Syukur dan sabar.
·
Rasa tanggung jawab.
Keabnormalan Mental
Menurut Zakiah Daradjat,
keabnormalan mental adalah kumpulan dari keadaan yang tidak normal, baik yang
berhubungan dengan fisik maupun dengan psikis. Kebanormalan dapat dibagi atas
dua bagian, yaitu:
(1) gangguan mental (jiwa) (neurose)
(2) sakit mental (jiwa) (psychose)
Secara umum perbedaan neurose dan
psychose dapat dilihat pada perasaan, fikiran, perilaku, dan personalitas
penderita. Penderita neurose masih mampu merasakan kesukaran yang dihadapi
sehingga perilaku dan kepribadiannya belum memperlihatkan kelainan yang serius,
ia masih berada dalam kehidupan realitas. Sedangkan penderita psychose karena yang
terkena pikirannya, kepribadiannya tampak tidak padu lagi, karena itulah dia
sudah tidak mampu hidup dalam dunia nyata. Oleh karena itu gejala-gejala
gangguan dan penyakit mental dapat dilihat dari perasaan, fikiran, tingkah
laku, dan kesehatan badan seseorang.
Dalam perspektif Islam sehat atau
tidaknya mental seseorang berpijak pada aspek spiritualitas keagamaan. Seberapa
jauh keimanan seseorang yang tercermin dalam kehidupan keberagamaan dalam
kesehariannya menjadi titik tolak penting dalam mentukan sehat atau tidaknya
mental seseorang. Al Ghazali memandang bahwa kebnormalan mental identik dengan
akhlak yang buruk, sedangkan akhlak yang buruk dinyatakan sebagai racun yang
berbisa yang dapat membunuh, atau kotoran yang bisa menjauhkan seseorang dari Allah
SWT. Disamping itu akhlak yang buruk juga termasuk kedalam langkah setan yang
bisa menjerumuskan manusia masuk dalam perangkapnya.
Gangguan mental dalam Islam
berkaitan dengan penyimpangan-penyimpangan sikap batin. Inilah yang menjadi
dasar dan awal dari semua penderitaan batin. Gejala-gejala gangguan mental
dapat dirumuskan sebagai berikut:
- Hati yang menyimpang dari
keikhlasan dan ketundukan kepada Allah sehingga menjadi lupa terhadap
posisinya sebagai hamba Allah, wujudnya bisa dalam bentuk ria, hasad,
ujub, takabur, tamak, dan sebagainya.
- Perilaku yang terbiasa dengan
pelanggaran ajaran agama disebabkan oleh dominannya peran nafs al-ammarah
dalam kehidupan.
Pada kondisi ini ada dua bentuk gangguan
mental yaitu:
- Kekuatan-kekuatan fitrah untuk
mendengarkan dan melihat kebenaran, serta berpihak dan menyukai kebenaran
tidak berfungsi lagi dengan baik. Hati orang seperti ini tertutup dari
seruan kebenaran.
- Memandang indah dan baik
perbuatan-perbuatan dosa dan kesehatan sehingga tetap merasa nikmat untuk
melakukannya.
Adapun gangguan mental yang dijelaskan oleh (A. Scott,
1961) meliputi beberapa hal :
- Salah
dalam penyesuaian sosial, orang yang mengalami gangguan mental perilakunya
bertentangan dengan kelompok dimana dia ada.
- Ketidak
bahagiaan secara subyektif.
- Kegagalan
beradaptasi dengan lingkungan.
- Sebagian
penderita gangguan mental menerima pengobatan psikiatris dirumah sakit.
Pengaruh Agama Terhadap Kesehatan
Mental
Telah banyak dilakukan penelitian
yang berhubungan dengan agama dan kesehatan mental, seperti yang dilakukan
Bergin (1983) yang melakukan metanalis pada hasil-hasil penelitian tentang
agama dan kesehatan mental. Ia menyimpulkan bahwa jika religiusitas
dikorelasikan dengan ukuran kesehatan mental, dari 30 efek yang ditemukan,
hanya 7 orang atau 23% menunjukan hubungan negatif antara agama dan kesehatan
mental. Secara singkat, Koenig (1999) dalam bukunya The Healing Power of
Faith, menyatakan bahwa keluarga yang religious umumnya; punya keluarga
yang lebih bahagia, punya gaya hidup yang lebih sehat, dapat mengatasi stress,
terlindung dari penyakit kardiovaskular, punya sistem imun yang lebih kuat.
Sejumlah
kasus yang menunjukkan adanya hubungan antara faktor keyakinan dan kesehatan
jiwa atau mental tampaknya sudah disadari para ilmuwan beberapa abad yang lalu.
misalnya, pernyataan Carel Gustav Jung “diantara pasien saya yang
setengah baya, tidak seorang pun yang penyebab penyakit kejiwaannya tidak
dilatarbelakangi oleh aspek agama”. Prof Dr. Muhammad Mahmud Abd Al-Qadir lebih
jauh membahas hubungan antara agama dan kesehatan mental melalui pendekatan
teori biokimia. menurutnya, di dalam tubuh manusia terdapat sembilan kelenjar
hormon yang memproduksi persenyawaan-persenyawaan kimia yang mempunyai pengaruh
biokimia tertentu, disalurkan lewat pembuluh darah dan selanjutnya memberi
pengaruh kepada eksistensi dan berbagai kegiatan tubuh.
Lebih jauh
Muhammad Mahmud Abd Al-Qadir berkesimpulan bahwa segala bentuk gejala emosi
seperti bahagia, rasa dendam, rasa marah, takut, berani, pengecut yang ada
dalam diri manusia adalah akibat dari pengaruh persenyawaan-persenyawaan kimia
hormon, di samping persenyawaan lainnya. tetapi dalam kenyataannya, kehidupan
akal dan emosi manusia senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Oleh karena itu,
selalu terjadi perubahan-perubahan kecil produksi hormon-hormon yang merupakan
unsur dasar dari keharmonisan kesadaran dan rasa hati manusia, tepatnya perasaannya.
Jika
seseorang berada dalam keadaan normal, seimbang hormon dan kimiawinya, maka ia
akan selalu berada dalam keadaan aman. Perubahan yang terjadi dalam kejiwaan
itu disebut oleh Abd Al-Qadir sebagai spectrum hidup. Penemuan Muhammad
mahmud Abd Al-Qadir seorang ulama dan ahli biokimia ini, setidak-tidaknya
memberi bukti akan adanya hubungan antara keyakinan agama dengan kesehatan
jiwa. Pengobatan penyakit batin melalui bantuan agama telah banyak dipraktikkan
orang. Dengan adanya gerakan Christian Science, kenyataan sepeti itu
diperkuat pengakuan ilmiah pula. Dalam gerakan ini dilakukan pengobatan pasien
melalui kerja sama antara dokter, psikiater, dan ahli agama (pendeta). Di sini
tampak nilai manfaat dari ilmu jiwa agama. Barangkali hubungan antara kejiwaan
dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan
kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu
kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang itu diduga akan memberi sikap
optimis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif. Maka, dalam
kondisi yang serupa itu manusia berada dalam keadaan tenang dan normal, yang
oleh Muhammad Mahmud Abd Al-Qadir, berada dalam keseimbangan persenyawaan kimia
dan hormon tubuh. Dengan kata lain, kondisi yang demikian menjadi manusia pada
kondisi kodratinya, sesuai dengan fitrah kajadiannya, sehat jasmani, dan
ruhani.
Orang yang
sehat mentalnya adalah orang yang dalam rohani atau dalam hatinya selalu merasa
tenang, aman, dan tentram. Ketika agama sebagai keyakinan dihubungkan pada
kesehatan jiwa terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu
kekuasaan yang maha tinggi. Tindak ibadah dalam sebuah ritual agama akan
memberi rasa bahwa hidup lebih bermakna dan manusia sebagai mahluk hidup yang memiliki
kesatuan jasmani dan rohani secara tak terpisah memerlukan pengakuan yang dapat
memuaskan keduanya.
Salah satu
cabang ilmu jiwa, yang tergolong dalam psikologi humanistika dikenal logoterapi
(logos berate makna dan juga ruhani). Logoterapi dilandasi falsafah hidup dan
wawsan mengenai manusia yang mengakui adanya dimensi sosial pada kehidupan
manusia. kemudian, logoterapi menitikberatkan pada pemahaman bahwa dambaan
utama manusia yang asasi atau motif dasar manusia adalah hasrat untuk hidup
bermakna. Diantara hasrat itu terungkap dalam keinginan manusia untuk memiliki
kebebasan dalam menemukan makna hidup. Kebebasan seperti itu dilakukannya
antara lain melalui karya-karya yang diciptakannya, hal-hal yang dialami dan
dihayati (termasuk agama dan cinta kasih) atau dalam sikap atas keadaan dan
penderitaan yang tak mungkin dielakkan. Adapun makna hidup adalah hal-hal yang
memberikan nilai khusus bagi seseorang, yang bila dipenuhi akan menjadikan
hidupnya berharga dan akhirnya akan menimbulkan penghayatan bahagia. Dalam
logoterapi dikenal dua peringkat makna hidup, yaitu makna hidup pribadi dan
makna hidup paripurna.
Kehilangan makna hidup menyebabkan
manusia mencari jalan sendiri-sendiri. Bertualang tanpa arah, terus mencari,
siapa dan apaun yang diduga mampu memberikan “obat” penawar kesepian batin
pasti akan dihampiri. Mulai dari berlindung dibawah sosok manusia mistik,
mencoba melabuhkan diri pada hidup yang penuh hura-hura, ataupun mengkonsumsi
minuman keras. Disini, batin manusia modern bagaikan terkarantina oleh produk
teknologi hasil karya mereka sendiri dan keadaan ini jelas sungguh ironis.
Sayangnya, agama dalam hal ini
sering dipandang hanya sebagai anutan. Dianggap sebagai sesuatu yang datang
dari luar dan asing. Padahal, potensinya sudah bersemi dalam batin sebagai
fitrah manusia. Potensi yang diterlantarkan oleh keangkuhan egoisme manusia.
Jalinan keharmonisan antara kebutuhan fisik dan mental spiritual terputus.
Akibatnya manusia kehilangan kemampuan untuk mengenal dirinya bahkan menemukan
makna hidupnya. Padahal Sang Maha Pencipta sudah
mewanti-wanti akan hal itu. Seuntai firman mengungkapkan hal itu: “Mereka
diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang
kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia.” (QS.
3:112). Di kala manusia melupakan Sang Maha Pencipta dan kehilangan God
View-nya, kehidupan menjadi hampa. Ketentraman batin tersaput, dan hidup akan
menjadi tak bermakna. “Ingatlah, hanya
dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. 13:28).
Sumber:
Nasrudin, Endin. 2009. Psikologi Agama. Bandung: Qutub Production
Mujib, Abdul & Mudzakir, Jusuf. 2001. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Jalaludin.
2010. Psikologi Agama. Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada
Jalaludin. 2003. Psikologi Agama “sebuah pengantar”. Bandung : Mizan Media Utama
Ramayulis. 2002. Psikologi Agama. Jakarta: Kalam mulia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar